Asyik sekali pelancongan mereka naik Land-Rover. Daerah perladangan keluarga Philpot ternyata luas sekali, mencakup berbagai bukit kecil. Mobil yang mereka tumpangi terhuyung-huyung, dan sekali-sekali berhenti untuk memberi kesempatan agar anak-anak bisa menikmati pemandangan. Bill menyebutkan nama-nama ladang dan hutan yang dilewati.
“Ini namanya Ladang Pohon Ek – dan yang di sebelah sana itu dikenal dengan Hutan Penggantungan – sedang yang itu, itu Ladang Tinker’s Wood! Dan itu – yang nampak dikejauhan, namanya Ladang Jauh. Cocok sekali namanya, karena terletak paling jauh dari rumah!”
Bill bercerita dengan lancar. Nama demi nama meluncur dari mulutnya. Seakan-akan pemandangan ladang-ladang yang dicintainya itu merupakan kunci pembuka hatinya. Ia juga bercerita tentang ternak.
“Yang di sana itu sapi perahan kami yang baru. Dengan adanya sapi-sapi itu sebagai tambahan, susu yang dihasilkan bertambah banyak sekali! Dan yang sedang merumput di tengah lapangan yang di sebelah sana, itu sapi-sapi pejantan. Sapi-sapi itu mahal sekali harganya. Pak Philpot memang mementingkan ternak bermutu! Lebih baik memakai mobil tua, daripada membeli ternak yang tidak bermutu. Nah – yang di sana, itu biri-biri. Itu, yang nampak seperti bintik-bintik, di lereng bukit sebelah sana! Hari ini kita tidak bisa ke sana. Sayang! Kalian pasti senang berkenalan dengan gembalanya. Dia sudah lama sekali bekerja di pertanian ini. Orangnya sudah tua.”
Setelah itu Bill terdiam lagi. Mobil dibelokkannya, memasuki jalan tanah yang menuju ke rumah lagi. Kini mereka menyusur ladang-ladang jagung yang sudah menguning.
“Aku tahan duduk berjam-jam di tempat ini,” kata Anne. “Enak rasanya menikmati pemandangan di sini, mendengarkan tiupan angin di sela-sela tanaman jagung!”
“Kalau begitu jangan kawin dengan petani, sebab isteri petani tidak sempat duduk untuk menikmati pemandangan,” kata Bill. Setelah itu ia diam lagi.
Mobil berjalan terus, terayun-ayun di jalan yang tidak rata. Tapi anak-anak asyik.
“Awas, Bill!” seru Anne dengan tiba-tiba, ketika roda mobil terpeleset kena sebuah lubang. Ia berpegang erat-erat ke tiang penopang atap. Tapi Timmy tidak bisa berpegangan, karena tidak mempunyai tangan. Karenanya ia terdorong ke belakang, dan terlempar ke jalan. Dengan pelan-pelan anjing itu bangun kembali. Ia bingung, kenapa tahu-tahu sudah ada di luar mobil.
“Ayo, naik lagi!” seru George padanya. “Kau tidak perlu kaget, mobil tadi cuma terperosok ke dalam lubang.” Bill tidak menghentikan Land-Rover. Karena itu Timmy terpaksa mengejar, lalu melompat naik ke bak belakang. Bill tertawa mendengus. Saat itu mobil bergoyang-goyang lagi, karena melalui bagian jalan yang banyak lubang-lubangnya.
“Mobil ini kayak manusia saja sifatnya,” kata Bill. “Kalau cuaca cerah kayak sekarang, rasanya seperti ingin menari-nari.”
Land-Rover itu melaju, menuruni bukit dan langsung masuk ke dalam sebuah cekungan. Anne mengerang.
“Ya, dia enak saja ngomong,” bisiknya pada Julian. “Dia bisa berpegangan pada roda kemudi!”
Walau perjalanan tidak sehalus naik mobil sedan, tapi anak-anak menikmati pelancongan berkeliling pertanian itu.
“Sekarang kita benar-benar mengetahui bagaimana wujudnya!” kata Julian, setelah mobil direm dengan mengejut di dekat rumah sehingga mereka semua terlempar ke tanah. Pantas Kakek serta keluarga Philpot sangat sayang pada pertanian ini. Habis, memang bagus sekali sih! Terima kasih, Bill. Kami senang sekali tadi. Aku jadi ingin orang tuaku juga punya pertanian seperti begini!”
“Seperti begini? Wah – harus dirawat berabad-abad dulu, baru bisa,” kata Bill. “Dan nama-nama yang kusebutkan tadi – itu pun sudah berabad-abad tuanya. Tidak ada lagi yang tahu, siapa yang dulu digantung di Hutan Penggantungan, misalnya. Tapi namanya akan tetap begitu, selama ladang itu masih ada!”
Anne menatap Bill dengan kagum. Rupanya orang itu sangat menyayangi tempatnya bekerja, pikir anak itu. Tepat pada saat itu Bill menoleh. Dilihatnya Anne memperhatikan dirinya. Ia mengangguk.
“Kau mengerti, ya?” katanya. Anne mengangguk.
“Tetapi ada juga yang tidak bisa mengerti,” kata Bill melanjutkan. “Misalnya saja Pak Henning, orang Amerika itu. Tidak habis-habisnya ia memuji pertanian ini. Tapi pada hakekatnya, ia tidak mengerti apa-apa. Sedang anaknya yang gendut ….” Anne kaget, karena tiba-tiba Bill meludah ke tanah. “Nah, itulah pendapatku tentang dia!”
“Ah – kurasa ia begitu karena cara pendidikannya saja,” kata Anne. “Aku sudah sering ketemu anak-anak Amerika, dan ….”
“Yang satu itu perlu dipukul pantatnya!” kata Bill dengan geram. “Coba kalau Bu Philpot tidak melarang, pasti dia sudah habis kupukuli! Sungguh! Bayangkan, siapa yang tidak marah. Anak-anak sapi yang cepat kaget diloncatinya, katanya hendak ditunggangi! Setelah itu menguber-nguber ayam betina, sampai tidak mau bertelor lagi. Lalu melempari bebek yang sedang berenang dalam kolam. Karung benih dirobek! Bukan untuk apa-apa, hanya karena iseng – katanya senang melihat benih bertaburan. Huhh, kepingin rasanya menggoncang-goncang anak itu!”
Anak-anak kaget mendengar kata-kata Bill. Ternyata Junior jahatnya melebihi perkiraan mereka. George merasa senang, karena sempat memberi pelajaran pada anak itu tadi pagi.
“Anda tidak perlu memikirkan anak itu lagi, Bill,” kata Julian dengan geram. “Selama kami di sini, kami akan menangani dia!”
Setelah itu mereka meminta diri pada Bill, lalu kembali ke rumah. Seluruh tubuh mereka pegal-pegal. Tapi mereka puas.
“Aku senang pada Bill,” kata Anne. “Dia begitu – begitu asli. Ia seakan-akan satu dengan pertanian ini. Bill adalah pertanian dan pertanian adalah Bill!”
“Ah – sekarang Anne mengerti, apa maknanya menjadi petani,” kata Dick. “Aduh, perutku lapar sekali rasanya. Tapi tidak enak, jika minta makan lagi pada Bu Philpot. Yuk, kita ke desa. Kita membeli roti dan susu di toko di mana kita pernah mampir!”
“Ya, setuju!” kata Anne dan George serempak. Mereka lantas berangkat, menyusur jalan yang menuju ke desa Finniston. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di toko itu. Janie, perempuan yang gemar mengobrol itu kembali sedang bertugas menjaga. Ia tersenyum gembira, melihat anak-anak datang.
“Nah, kalian muncul lagi,” sapanya. “Kebetulan pagi ini ibuku membuat kue makaron. Lihatlah – masih segar!”
“Dari mana kau tahu kami gemar makan kue itu?” kata Dick, lalu duduk di satu dari dua meja yang ada di situ. “Kami minta sepiring!”
“Apa? Sepiring penuh?” seru Janie tercengang. “Satu piring, isinya kan dua puluh?”
“Pas-pasan untuk kami,” kata Dick. “Kecuali itu, kami juga minta es krim – seorang satu. Yang besar, ya? Dan tolong berikan juga satu, untuk anjing kami.”
“Ya, aku takkan melupakannya,” kata Janie. “Anjing kalian itu baik, ya? Matanya bagus sekali. Kalian sudah melihatnya?”
“Ya, sudah,” kata Dick dengan geli. Sedang George berseri-seri tampangnya. Ia merasa senang, karena Timmy dipuji-puji.
Tak lama kemudian anak-anak sudah sibuk makan, disusul dengan hidangan es krim. Dan Timmy kembali menguber-nguber es krimnya yang jatuh ke lantai. Janie sampai terpekik-pekik karena geli melihat adegan kocak itu.
“Kalian senang tinggal di pertanian keluarga Philpot?” tanya anak itu kemudian.
“Senang sekali!” jawab anak-anak serempak.
“Kami senang tinggal di pertanian,” kata Anne menyambung. “Tadi pagi kami berkeliling melihat-lihat di situ. Naik Land-Rover.”
“Kalian ikut dengan Bill?” tanya Janie. “Bill pamanku. Tapi biasanya ia tidak suka berbicara dengan orang yang belum dikenal baik.”
“O – dia tadi banyak sekali bercerita,” kata Julian. “Macam-macam yang diceritakannya. He – pamanmu itu suka kue ini atau tidak?”
“Tentu saja suka,” kata Janie agak heran. “Aku tak kenal orang yang tidak menyukai kue buatan ibuku.”
“Dia bisa makan sampai setengah lusin?” tanya Julian lagi.
“Siapa? Ibuku? O – Bill maksudmu. Wah, kalau dia sih pasti bisa!”
“Baiklah. Kalau begitu, tolong bungkuskan setengah lusin kue ini,” kata Julian. “Aku ingin membawanya sebagai oleh-oleh untuk Bill, sebagai pernyataan terima kasih karena sudah diajak melihat-lihat tadi.”
“Kau baik hati,” kata Janie senang. “Pamanku itu, sudah seumur hidupnya bekerja di Finniston Farm. Coba kau minta padanya untuk mengajak kalian berjalan-jalan ke tempat di mana dulu tegak Puri Finniston, sebelum terbakar ….”
“Puri Finniston!” seru George dengan heran. “Pagi tadi kami sudah berkeliling ke mana-mana. Semua ladang kami datangi. Tapi sama sekali tak kami lihat puing-puing reruntuhan puri.”
“Ya, tentu saja kalian tidak bisa melihat apa-apa sekarang,” kata Janie. “Kan sudah kukatakan, puri itu kemudian terbakar. Terbakar habis! Kejadiannya sudah lama. Tapi Finniston Farm, dulu termasuk tanah puri itu. Aku pernah melihat gambar-gambarnya, di toko barang antik yang di ujung jalan itu. Dan aku ….”
Saat itu ibu anak itu muncul dari belakang. Keningnya langsung berkerut, melihat anaknya asyik mengobrol.
“Janie, Janie – sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengajak pembeli mengobrol,” katanya. “Kau ini memang ceriwis. Apakah tidak bisa kaubayangkan, tidak semua orang senang mendengar obrolanmu itu?”
“Kami seneng mengobrol dengan dia, Bu,” kata Julian. “Janie banyak ceritanya. Biar sajalah!”
Tapi Janie sudah lari. Pipinya merah karena malu.
“Nah – kalian tadi makan apa saja?” kata wanita pemilik toko itu kemudian, ketika melihat satu piring kue tidak ada lagi di tempat semula. “Astaga! Ke mana kue-kue yang di sini tadi? Paling sedikit ada dua lusin di piring itu!”
“Anu, Bu – “ kata Julian malu-malu, “kami sendiri makan hampir dua puluh – dibantu anjing kami, tentunya – lalu Janie membungkuskan lagi enam buah untuk kami – jadi ….”
“Di piring itu tadi ada dua puluh empat!” kata wanita itu, masih tetap tercengang. “Dua puluh empat! Aku tahu pasti, karena sempat kuhitung.”
“Dan es krim yang besar, lima,” kata Julian lagi. “Jadi berapa harganya semua, Bu? Wah – kue tadi benar-benar enak rasanya!”
Sekarang Ibu Janie tersenyum. Ia geli melihat tingkah laku Julian yang nampak agak kikuk karena malu. Ia menghitung-hitung sebentar, lalu menyebutkan harga yang harus dibayar. Julian cepat-cepat menyodorkan uangnya.
“Jangan bosan mampir ya,” kata wanita itu.
Kemudian anak-anak keluar. Timmy masih terus menjilati moncongnya, seakan-akan masih merasakan enaknya kue dan es krim tadi. Mereka menyusur jalan desa sampai ke ujungnya. Sesampai di situ Anne berhenti.
“Aku ingin melihat-lihat perhiasan kuda di toko antik itu sebentar,” katanya. “Kalian pulang saja dulu, nanti aku menyusul.”
“Aku ikut denganmu,” kata George, sementara Dick dan Julian meneruskan perjalanan pulang.
“Kalau kalian mencari nanti, mungkin kami ada di salah satu tempat di sana, membantu bekerja,” seru Dick sambil berjalan. Sedang Anne dan George membelokkan langkah, menuju ke toko barang antik.
Di ambang pintu mereka nyaris bertubrukan dengan dua orang yang hendak keluar. Seorang diantaranya Pak Henning. Sedang yang seorang lagi, mereka belum pernah melihat sebelum itu.
“Selamat pagi,” sapa Pak Henning, lalu meneruskan langkah bersama orang yang seiring dengan dia. Sedang George dan Anne masuk ke dalam toko yang agak gelap itu.
Mereka melihat seorang laki-laki tua berdiri di belakang meja penjualan. Orang itu kelihatannya agak marah. Tangannya diketuk-ketukkan ke daun meja. Matanya melotot, sehingga Anne dan George agak takut.
“Huh – orang itu!” tukas pak tua itu. Ia menggeleng-geleng dengan cepat, sehingga kaca matanya terlempar. Anne buru-buru mengambilnya kembali, lalu menyerahkannya pada pemiliknya. Pak tua menaruh kaca matanya ke batang hidung, lalu ditatapnya kedua anak perempuan yang baru masuk dengan pandangan gelak.
“Kalau kalian hendak membuang-buang waktuku, lebih baik cepat-cepat pergi lagi,” kata laki-laki tua itu. “Aku sibuk! Anak-anak biasanya cuma merepotkan saja. Melihat ini-itu, tapi tidak pernah membeli apa-apa! Sedang anak yang dari Amerika itu, dia… ah, kalian kan tidak tahu, aku ini sedang berbicara tentang apa! Huh – aku sedang gugup sekarang. Aku selalu gugup, jika ada orang ingin membeli barang-barang kuno kita, untuk dibawa ke luar negeri. Kalau …”
“Ya, Pak Finniston,” kata Anne menyabarkan. “Anda kan Pak Finniston? Kami kemari karena ingin melihat-lihat hiasan-hiasan kuda yang bagus itu, Pak. Kami takkan lama-lama di sini. Kami menginap di Finniston Farm, dan …”
“Di Finniston Farm, katamu?” wajah orang tua itu dengan seketika berubah, menjadi cerah. “Kalau begitu kalian pasti sudah berjumpa dengan kawan baikku, Pak Jonathan Philpot. Dia kawan akrabku yang paling akrab!”
“Maksud Anda Pak Philpot, ayah kedua Harry?” tanya George.
“Bukan, bukan – bukan dia. Maksudku Kakek! Kami dulu sesekolah,” kata laki-laki tua itu bersemangat. “Wah – banyak cerita tentang keluarga Finniston yang bisa kukisahkan pada kalian, serta mengenai puri yang dulu ada di sana. Ya ya – aku ini jelek-jelek, tapi masih keturunan pemilik puri itu, maksudku puri yang dulu ada di sana. Sekarang sudah musnah. Ya, ya – !”
Pada saat itulah dimulai petualangan baru bagi Lima Sekawan. Petualangan yang takkan pernah mereka lupakan lagi!
Friday, November 26, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment