Friday, November 26, 2010

Chap. 6 _ Sarapan yang Aneh

Well, who posted thiz? duriangirl9619 at 7:19 AM
Tidur dalam lumbung, ternyata asyik! Selama beberapa saat Dick masih bertahan supaya jangan terlelap, ia ingin menikmati bau lumbung yang khas. Ia juga ingin menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit, yang bisa dilihatnya lewat pintu terbuka. Angin malam meniup sepoi-sepoi.

Tapi Julian langsung tidur. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi ribut-ribut katika Pak Henning dan Junior pulang. Tahu-tahu ia terjaga sekitar puukl satu malam. Ia duduk di tempat tidurnya. Jantungnya berdebar keras. Bunyi apakah yang membangunkannya tadi.

Ketika ia sedang begitu, terdengar lagi bunyi yang sama. Julian tertawa.

“Dasar goblok!” katanya menertawakan diri sendiri. “Itu kan cuma suara burung hantu! Dan itu – jeritan apakah itu? Tikus? Atau mungkin pula burung hantu, yang sedang mencari makanan dalam lumbung?”

Julian berbaring lagi. Tapi masih tetap memasang telinga. Tiba-tiba ia merasa hembusan angin dingin mengenai mukanya. Pasti yang menyebabkannya gerak sayap burung hantu, karena sedikit pun tidak terdengar bunyi apa-apa. Dan Julian tahu, gerak sayap burung hantu sama sekali tidak menimbulkan suara! Bahkan tikus yang pendengarannya sangat tajam, tidak bisa mendengar bunyi sayap burung itu yang sedang menukik hendak menyambarnya!

Sesaat kemudian terdengar bunyi mendecit.

“Nah – burung itu berhasil,” pikir Julian. “Lumbung ini memang tempat berburu yang baik baginya. Di sini disimpan hasil panen. Jadi dengan sendirinya banyak tikus mencari makanan di sini.”

Setelah itu Julian terlelap lagi. Ia baru bangun ketika sinar matahari sudah memasuki lumbung. Julian memandang arlojinya. Ia terkejut.

“Wah – sudah setengah delapan! Padahal aku bermaksud hendak bangun pukul tujuh. Dick! Dick! Bangun!”

Tapi Dick nyenyak sekali tidurnya. Bahkan ketika digoncang-goncang oleh Julian, masih belum bangun juga. Ia cuma memutar tubuh, lalu melanjutkan tidurnya. Julian memandang ke seberang ruangan. Dilihatnya kedua tempat tidur yang ada di situ sudah kosong. Ternyata kedua Harry sudah bangun. Bantal dan selimut tersusun rapi.

“Mereka tidak membangunkan kami,” kata Julian sambil berpakaian. Kemudian digoncang-goncangnya lagi adiknya. Dick! Dick, bangun! Nanti tahu-tahu sudah pukul SEPULUH!”

Begitu Julian meneriakkan kata terakhir, Dick langsung bangun dan duduk di tempat tidur.

“Pukul sepuluh! Aduh, lama sekali aku tidur. Wah – terlambat sarapan jadinya! Wah…”

“Tenang, tenang!” kata Julian sambil nyengir, melihat Dick gugup. “Aku tadi bilang, kalau kau tidur terus, tahu-tahu sudah pukul sepuluh. Sekarang sih baru pukul setengah delapan lewat sedikit.”

“Aduh, kau ini mengejutkan orang saja,” kata Dick, lalu merebahkan diri kembali. “Aku masih ingin tidur barang sepuluh menit lagi.”

“Kedua Harry sudah keluar,” kata Julian. “Anne dan George, sudah bangun atau belum, ya? Aduh! Apa ini?”

Julian terlonjak, karena ada sesuatu menusuk punggungnya. Ia berpaling dengan cepat. Dikiranya Junior atau salah seorang dari kedua Harry hendak mengganggunya. Tapi ternyata bukan!

“Ah – rupanya di Nosey! Gagak konyol!” kata Julian. Burung iseng itu bertengger di atas bantalnya.

Nosey berkaok-kaok, lalu hinggap di bahu Julian. Anak itu merasa senang, karena menyangka burung gagak itu sudah mengenalnya. Tapi detik berikut, Nosey mematuk telinga Julian.

“Nih – kau saja yang memegang,” katanya, lalu menyodorkan burung gagak itu pada adiknya, yang tidak menyadari apa-apa. Dan dasar burung iseng, dengan cepat Nosey menyambar arloji yang tergeletak di samping bantal Dick, lalu membawanya terbang. Dick berteriak marah.

“He – kembalikan arlojiku, gagak keledai! Itu barang mahal, tahu? Ju – arlojiku dibawa terbang olehnya. Aduh, entah ke mana disembunyikannya nanti!”

“Dia terbang ke bawah bubungan atap,” kata Julian. “Kurasa kita perlu memberitahu kedua Harry, mungkin mereka bisa menolongmu! He, Nosey! Kenapa bukan arloji Junior yang kaucopet? Kalau itu kaulakukan, aku setuju. Tapi jangan barang-barang kami!”

“Kaok, kaok, kaok,” seru Nosey dari atas, seakan-akan setuju. Tapi ketika mulai berkaok, paruhnya terbuka dan arloji Dick terlepas. Jatuh ke bawah, menimpa sebuah karung. Dengan cepat Nosey terbang menukik, hendak menyambarnya kembali. Tapi Dick tidak mau kalah cepat. Ia berhasil menyambar arlojinya, sekejap sebelum Nosey sampai.

Gagak itu terbang lagi ke atas, sambil berkaok-kaok dengan marah.

“He, jangan suka memaki-maki,” seru Dick memarahi. Dililitkannya arlojinya ke pergelangan tangan, supaya tidak bisa dicopet lagi oleh Nosey.

Setelah itu Dick dan Julian pergi ke luar, menuju ke rumah. Orang-orang sudah sibuk bekerja. Keduanya merasa agak kurang enak, karena bangun begitu lambat. Hidangan sarapan masih tersaji di meja. Tapi kelihatannya, sudah banyak yang makan pagi!

“Anne dan George juga belum sarapan,” kata Dick. Dilihatnya dua piring di depan kursi-kursi yang ditempati oleh kedua anak perempuan itu kemarin malam, masih bersih. “Tapi selebihnya, semua sudah! Ah – Bu Philpot datang! Maaf, Bu, kami agak terlambat bangun.”

“Tidak apa-apa,” jawab Bu Philpot ramah. “Tamu memang tidak perlu bangun pagi-pagi sekali. Masa libur kan memang cocok untuk hidup santai!”

Bu Philpot meletakkan sebuah baki berisi hidangan sarapan ke meja.

“Ini untuk Pak Henning! Nanti dia membunyikan bel, jika sudah ingin sarapan. Dan itu baki untuk Junior. Nanti kalau mereka membunyikan bel, akan kubuatkan kopi.” Setelah itu Bu Philpot keluar lagi.

Dick dan Julian memandang dengan sikap mencela, ketika Anne dan George muncul kemudian. Mereka sendiri saat itu sedang makan dengan nikmat.

“Terlambat bangun, ya?” kata Dick, berpura-pura kesal. “Ayo duduk! Nanti kutuangkan kopi untuk kalian.”

“Mana Junior? Belum bangun, kan?” tanya George cemas. “Tapi aku sama sekali tidak lupa tentang taruhan kita tadi malam!”

“Tapi jangan berbuat yang tidak-tidak, ya George?” kata Julian. “Misalnya nanti makanan ini kaulemparkan padanya – atau hal-hal kayak begitu!”

“Yah – siapa tahu?” jawab George sambil makan sebutir telur rebus. “Pokoknya aku menang taruhan!”

“Kalau kau nanti mengganggunya, jangan sampai keterlaluan,” kata Julian menasehati. “Jangan sampai Pak Henning marah, lalu pergi dari sini! Kan kasihan Bu Philpot, kalau penghasilannya berkurang.”

“Ya deh,” kata George, “Kau tidak perlu ngomel terus! Tapi sekarang aku ingin sarapan dulu. Tolong kemarikan sebutir telur lagi, Dick! Aneh – rasanya perutku ini tidak bisa kenyang.”

Ketika baru saja Anne dan George selesai makan, tiba-tiba keempat anak itu dikagetkan oleh bunyi bel yang berdering-dering. Dengan segera Bu Philpot masuk.

“Itu tanda dari Pak Henning,” katanya. “Aku harus menyiapkan kopi untuknya.”

“Biar aku saja yang mengantarkan sarapan ke kamarnya,” kata Anne, “sedang George membawakan sarapan untuk Junior.”

“Aduh, jangan repot-repot,” kata Bu Philpot. Saat itu bel berdering lagi. Bunyinya bising sekali.

“Itu Junior,” kata Bu Philpot. “Rupanya dia menyangka aku ini tuli.”

“Anak tak tahu adat!” tukas Dick. Bu Philpot tidak membantah ucapannya itu.

Anne menunggu sampai Bu Philpot selesai menuangkan kopi untuk Pak Henning. Setelah itu diambilnya baki hidangan yang harus diantarkan pada orang Amerika itu.

“Aku yang mengantarkannya ke atas,” katanya dengan tegas. Bu Philpot tersenyum dan membiarkannya.

“Kamarnya di sebelah kiri tangga, di tingkat satu,” kata Bu Philpot. “O ya – Pak Henning juga menginginkan agar tirai jendela kamarnya dibukakan untuknya, pada saat sarapan dihidangkan!”

“Junior juga ingin begitu pula?” tanya George. Suaranya manis sekali, sehingga Dick dan Julian menoleh padanya dengan perasaan curiga. Mau apa lagi anak ini sekarang?!

“Ya – biasanya aku memang juga membukakan tirai jendela untuknya,” kata Bu Philpot, “tapi itu tak perlu kaulakukan, jika kau tidak mau! Terima kasih, ya – kalian memang baik hati.”

Anne sudah lebih dulu ke atas, membawa baki sarapan untuk Pak Henning. Kini George menyusul sambil menenteng makanan yang harus diantar ke kamar Junior. Tapi ia masih sempat mengedipkan mata ke arah Dick.

“Sediakan saja pisau lipatmu,” katanya sambil nyengir bandel, lalu keluar. Timmy mengikutinya dengan heran. Untuk apa George menenteng baki ke tingkat atas?

Pintu kamar Junior tertutup. Dengan sekali tendang, George membukanya lalu masuk ke dalam, ia tidak berjalan dengan pelan. Sama sekali tidak! Kakinya sengaja dihentak-hentakan ke lantai, supaya bunyinya berdebam-debam. Baki dibantingkan dengan kasar ke atas meja, sehingga kopi tumpah. Setelah itu dihampirinya jendela sambil bersiul-siul. Tirai ditariknya ke samping dengan sentakan keras, menimbulkan suara menggeresek yang menyakitkan telinga.

Kepala Junior terbenam di bawah bantal. Rupanya ia tidur lagi, setelah membunyikan bel tadi. George sengaja menabrak sebuah kursi, sehingga terguling ke lantai. Bunyi berisik yang terdengar menyebabkan Junior langsung terduduk di tempat tidur.

“Ada apa ini?” tukasnya agak ketakutan. “Tidak bisakah mengantar sarapan tanpa ….” Saat itu baru dilihatnya bahwa yang masuk ke kamarnya bukan Bu Philpot yang ramah, tapi George!

“Keluar!” bentak Junior. “Seenaknya saja gedubrakan di sini! Ayo tutupkan lagi tirai itu. Silau mataku nanti. Aduh, lihatlah – kau menumpahkan kopiku! Kenapa bukan Bu Philpot yang mengantarkan sarapan, seperti biasanya? Sini – taruh baki itu dilututku, seperti yang biasa dilakukan oleh Bu Philpot!”

George menyentakkan selimut yang menyelubungi Junior. Setelah itu diambilnya baki hidangan dari atas meja, lalu dihempaskannya ke lutut Junior. Cangkir kopi bergetar keras. Lengan Junior tersiram sedikit. Tapi itu pun sudah cukup untuk menyebabkan anak manja itu terpekik, karena kopinya masih panas. Tangan Junior melayang, memukul bahu George.

Detik berikutnya Junior baru sadar bahwa perbuatannya itu keliru. Timmy yang berdiri di ambang pintu, begitu melihat George dipukul, langsung melompat ke atas tempat tidur sambil menggeram. Junior yang ketakutan diseretnya turun ke lantai, lalu diinjaknya. Anak itu tidak berani berkutik, karena anjing besar itu menggeram-geram terus dengan sikap mengancam.

George berlagak tidak tahu apa-apa. Sambil menggumamkan sebuah lagu, ia berbuat seakan-akan sedang sibuk membenahi kamar. Sebelumnya pintu sudah ditutup olehnya, supaya tak ada yang bisa mendengar apa yang terjadi dalam kamar itu.

“George – suruh anjingmu ini pergi,” kata Junior mengiba-iba. “Nanti aku digigitnya! George! Awas – kuadukan perbuatanmu pada ayahku. George! Maaf deh – aku memukulmu tadi – tapi suruh anjingmu pergi!”

Junior menangis. George memandangnya dengan sikap mencemooh.

“Anak konyol! Manja!” katanya. “Kepingin rasanya meninggalkan dirimu dalam keadaan begini sampai siang, dijaga oleh Timmy! Tapi sekali ini kau masih kuampuni. Sini, Tim! Biarkan cacing gendut itu terkapar di lantai!”

Junior masih menangis terus. Ia merangkak ke tempat tidur, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut.

“Huu, huu, aku tidak mau sarapan,” tangisnya, “huuu, nanti kau kuadukan pada Ayah – huuu, huuu. Biar kau dihajar habis-habisan olehnya!”

“Ya, adukan sana!” kata George. Dipegangnya tepi selimut, lalu ditariknya kuat-kuat, sehingga Junior tidak bisa bergerak di dalamnya. “Bilang pada ayahmu! Nanti kubisikkan pada Timmy, kukatakan bahwa kau jahat terhadapku. Nah – aku tidak tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian terhadap dirimu!”

“Kau ini anak laki-laki jahat yang pernah kujumpai,” kata Junior, setelah sadar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. George nyengir senang. Hahh! Rupanya Junior menyangka dia anak laki-laki. Bagus!

“Mulai sekarang, Bu Philpot tidak akan mengantarkan sarapan lagi ke atas untukmu,” katanya. “Aku mengambil ahli tugas itu – bersama Timmy. Mengerti? Dan jika kau berani membunyikan bel lebih dari satu kali setiap pagi – yah, kau akan menyesal nanti!”

“Aku tidak mau lagi sarapanku diantar ke atas,” kata Junior lirih. “Lebih baik aku saja yang turun, untuk sarapan di bawah. Kau tidak usah mengantarkannya lagi.”

“Bagus! Nanti akan kulaporkan pada Bu Philpot,” kata George. “Tapi jika pikiranmu berubah lagi, bilang saja padaku. Akan kuantarkan setiap pagi – dengan Timmy!”

Setelah itu George keluar. Pintu kamar dibantingnya keras-keras. Timmy mendahului turun. Anjing itu kelihatannya agak bingung – tapi juga senang. Ia memang tidak suka pada anak gendut yang berisik tadi.

George masuk lagi ke dapur. Dilihatnya Dick dan Julian masih ada di situ.

“Kau kalah taruhan, Dick!” kata George. “Kesinikan pisau lipatmu! Aku tadi bukan cuma mengantarkan sarapannya ke atas, dan dengan tidak sengaja menumpahkan kopi di atas lengannya, tapi setelah itu Timmy juga menyeretnya dari tempat tidur dan mengancamnya sambil menggeram-geram. Huh – anak itu penakut! Dan mulai sekarang dia tidak mau lagi sarapan di tempat tidur. Dia akan sarapan di sini, setiap pagi!”

“Bagus,” kata Dick, sambil menggeserkan pisau sakunya ke dekat George. “Kuakui, kau menang. Sekarang selesaikan sarapanmu dulu! Dan aku – aku tidak mau lagi taruhan denganmu!”

0 comments:

Post a Comment

 

ჱ♥ღღ♥ჱLoves, Hugs and Kisses!ჱ♥ღღ♥ჱ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos