Friday, November 26, 2010

Chap. 9 _ Kisah Menarik

Well, who posted thiz? duriangirl9619 at 7:17 AM
Anne dan George memandang laki-laki tua yang sedang berbicara itu. Orang itu berdiri di balik meja pelayanan dalam toko antiknya yang sempit dan gelap. Dikelilingi barang-barang yang lebih antik daripada dirinya sendiri.

Orang itu sudah tua. Kecil dan bungkuk. Rambutnya yang putih beruban, hanya tinggal beberapa lembar lagi. Mukanya yang ramah sudah penuh kerut. Kelopak matanya layu menutupi mata, sehingga terdapat kesan ia selalu memandang dengan mata terpicing.

Kedua anak perempuan itu tertarik ketika mendengar bahwa Pak Finniston ternyata keturunan bangsawan Finniston, yang dulu tinggal di Puri Finniston.

“O – karena itulah Anda juga bernama Finniston,” kata Anne. “Ceritakan mengenai puri itu, Pak! Seru hari ini kami mendengar sesuatu mengenainya. Tapi di mana letaknya dulu, kami tidak tahu. Ketika kami tadi berkeliling pertanian, aku sama sekali tidak melihat tumpukan batu di mana-mana!”

“Tentu saja tidak,” kata Pak Finniston. “Soalnya, puri itu terbakar habis pada jaman dulu, berabad-abad yang lalu. Kemudian batu-batunya diambil orang, untuk dijadikan bahan bangunan. Yah – kejadiannya memang sudah lama sekali!”

“Berapa lama?” tanya Anne ingin tahu.

“Nanti dulu –“ Pak Finniston berpikir-pikir sebentar. “Terbakarnya tahun 1192, jadi dalam abad kedua belas. Waktu itu jaman Norman! Pernah mendengar tentang orang-orang Norman? Aku tahu, sekolah jaman sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, jadi …”

“Tentu saja kami pernah mendengar tentang bangsa Norman!” kata George tersinggung. “Anak kecil pun tahu siapa mereka! Bangsa Norman yang menaklukan Inggris, dan raja Norman yang pertama-tama di sini namanya William Kesatu, tahun 1066!”

“Hmm – rupanya tidak sia-sia kau bersekolah,” kata Pak Finniston. “Nah, Puri Finniston adalah sebuah puri bangsa Norman. Itu – potongannya seperti yang ada dalam gambar ini. Lihatlah!” Pak Finniston menunjukkan sebuah gambar yang sudah tua pada Anne dan George. Gambar itu menunjukkan sebuah puri kuno, seluruhnya terbuat dari batu.

“Ya – ini memang puri Norman,” kata George. “Dan Puri Finniston, persis kayak yang di gambar ini?”

“Aku punya gambarnya, tapi entah kutaruh di mana,” kata laki-laki tua itu. “Lain kali kutunjukkan, kalau sudah ketemu lagi. Bangunannya tidak sebesar ini – tapi bagus! Yah – kurasa kalian tentunya tidak terlalu tertarik pada perinciannya. Aku juga tidak tahu, apa yang menyebabkan bangunan itu terbakar habis. Maksudku tidak tahu pasti! Cerita mengenainya macam-macam. Ada yang mengatakan, pada saat itu puri diserang musuh. Malam-malam! Dan dalam puri itu sendiri ternyata ada penghianat. Orang itulah yang membakarnya. Lalu sementara penghuni puri sedang sibuk memadamkan api, musuh bisa masuk tanpa menghadapi perlawanan. Hampir seluruh penghuni tewas dibunuh.”

“Dan setelah itu, puri tidak bisa lagi didiami,” kata Anne. “Tapi aneh – kenapa tidak ada tumpukan batu di tempat itu?”

“Kau keliru!” kata Pak Finniston. “Batu-batu bekasnya ada, tapi tersebar di seluruh pertanian. Cuma aku dan Kakek saja tahu di mana batu-batu itu berada! Misalnya saja ada tembok tua yang dasarnya dibangun dengan batu-batu bekas puri – lalu ada sumur – ah, aku tidak boleh membeberkan rahasia itu! Nanti kalian ceritakan pada orang Amerika yang kemari untuk memborong benda-benda kuno di sini!”

“Tidak, Pak! Sungguh, kami berjanji tidak akan menceritakannya,” kata Anne dan George serempak. Timmy memukul-mukulkan ekornya ke lantai, seakan-akan ingin ikut berjanji.

“Yah – mungkin Kakek kapan-kapan mau menunjukkan beberapa batu tua bekas puri itu pada kalian,” kata Pak Finniston. “Tapi terus terang, aku menyangsikannya! Tapi akan kusebutkan satu benda yang dapat dilihat di rumah keluarga Philpot. Itu bukan rahasia, karena semua mengetahui! Kalian kan pernah memperhatikan pintu dapur, yang menuju ke pekarangan?”

“Ya,” jawab Anne dengan segera. “Pintu yang dari kayu pohon ek, dan diperkuat dengan baut-baut besi. Itu kan, yang Anda maksudkan? Pintu kayak itu sekarang sedang populer, dijadikan pintu depan rumah-rumah biasa. Tapi pintu dapur di pertanian itu pintu kuno?”

Pak Finniston tidak mendengar pertanyaan itu. Ia mengerang, lalu menyembunyikan mukanya di balik tangannya.

“Populer! Populer! Aduh, anak-anak jaman sekarang! Masak pintu kuno yang begitu indah, disamakan dengan tiruan murah yang banyak dipakai di rumah-rumah modern! Dunia sekarang memang sudah berantakan. Masak tidak kaurasakan pintu itu asli – sudah berabad-abad umurnya – dan dulu merupakan perlengkapan sebuah puri? Apakah kalian tidak bisa menganalisa barang-barang yang berharga, karena umurnya sudah sangat tua?”

Anne agak kelabakan.

“Yah – aku melihatnya,” katanya terbata-bata, “tapi tempat itu agak gelap, jadi tak begitu jelas kelihatan.”

“Ahh – orang-orang jaman sekarang, sudah biasa memandang tanpa melihat,” keluh Pak Finniston. “Kau harus memperhatikan pintu itu!” Harus kaurasakan! Perhatikan pengetuk besar yang tergantung di situ. Bayangkan orang-orang Norman, yang pada jaman dulu mengetuk pintu dengan alat itu.

George mendesah. Obrolan begini tidak begitu menarik baginya. Berlainan dengan Anne. Tapi tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya.

“Tapi, Pak – kalau puri itu terbuat dari batu – bagaimana bisa sampai terbakar?” katanya. “Apa sebetulnya yang terjadi?”

“Kan sudah kukatakan, aku tidak tahu,” jawab Pak Finniston dengan nada sedih. “Semua perpustakaan daerah sini sudah kudatangi untuk menyimak setiap buku yang membahas jaman itu. Catatan-catatan kuno yang ada di gereja Finniston juga sudah kuperiksa. Aku hanya berhasil mengetahui bahwa waktu itu Puri Finniston sedang dikepung musuh. Lalu ada seorang penghianat yang membakar dari dalam. Kalian kan tahu, bangunan-bangunan jaman kuno memang terbuat dari batu. Tapi lantainya dari kayu! Begitu pula tiang-tiang penopang. Nah – kayu-kayu itu terbakar sampai habis. Sebagai akibatnya, dinding-dinding yang tebal ambruk dan menutupi dasar puri. Lord Finniston, bangsawan pemilik puri itu, tewas dibunuh. Tapi isterinya, Lady Finniston berhasil menyelamatkan anak-anak mereka. Kata orang anak-anak itu disembunyikan dalam sebuah gereja kecil, yang letaknya dekat lumbung pertanian yang sekarang. Mungkin mereka dibawa ke situ lewat lorong rahasia di bawah tanah, yang menghubungkan kolong puri dengan gereja.”

“Gereja tua? Masih adakah bangunan itu?” tanya Anne. “Atau ikut terbakar?”

“Tidak! Bangunan itu masih ada,” jawab Pak Finniston. “Kakek pasti akan menunjukkannya pada kalian.” Pak Finniston menggeleng-geleng dengan sedih. “Tapi sekarang dijadikan lumbung gandum! Menyedihkan. Tapi walau begitu, tempat itu masih penuh dengan doa.”

Anne dan George memandang Pak Finniston dengan heran. Mereka tidak mengerti, apa maksudnya. Keduanya mulai menyangka, jangan-jangan laki-laki tua itu sudah tidak waras lagi pikirannya. Sedang Pak Finniston berdiri dengan kepala tertunduk. Beberapa saat ia begitu, tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian ia memandang kedua anak yang berdiri di depannya.

“Yah, begitulah kisahnya! Sebetulnya bukan cuma kisah, tapi sejarah yang terjadi lebih dari tujuh ratus tahun yang lampau! Dan masih ada yang bisa kukatakan ….”

“Apa?” tanya Anne dan George.

“Puri kuno itu mempunyai berbagai ruangan di bawah tanah!” kata Pak Finniston. “Kebakaran hanya menjalar sampai ke tingkat dasar, yang lantainya berupa tanah yang dipadatkan. Dan tanah tidak bisa terbakar. Jadi ruangan-ruangan di bawahnya masih utuh! Nah – itulah yang selalu kupikirkan selama ini. Apakah yang dulu ada di dalamnya? Dan apakah masih ada sekarang?”

Suara Pak Finniston begitu suram, sehingga Anne dan George seram mendengarnya. George lebih dulu berhasil menguasai dirinya kembali.

“Tapi apa sebabnya selama ini tidak digali lagi ruang-ruang itu?” tanyanya. “Maksudku, masak tidak ada yang memikirkannya, serta bertanya-tanya seperti Anda?”

“Soalnya begini! Ketika tembok puri runtuh, rupanya jalan masuk ke bawah tanah itu tertimbun batu-batu besar,” kata Pak Finniston menjelaskan. “Para petani dan penduduk yang tinggal di sekitar situ tak sanggup menggesernya. Dan kalaupun sanggup, mungkin tidak berani! Batu-batu besar itu tergeletak terus di situ selama berabad-abad, dan akhirnya pecah berantakan kena pengaruh cuaca. Baru kemudian diambil orang, untuk dijadikan dasar tembok dan dinding sumur. Tapi sementara itu tidak ada lagi yang masih ingat pada ruang-ruang di bawah tanah.”

Pak Finniston merenung lagi. Anne dan George menunggu sampai orang tua itu melanjutkan ceritanya.

“Ya – semua orang sudah melupakannya,” kata Pak Finniston. “Kadang-kadang aku terbangun tengah malam. Pikiranku melayang ke ruangan bawah tanah itu. Apakah yang tersimpan di sana? Jangan-jangan tulang belulang para tawanan yang terkurung di situ! Atau mungkin harta berpeti-peti? Barang-barang yang disimpan di situ oleh Lady Finniston? Aku tidak bisa tidur, kalau teringat pada ruangan itu!”

Anne merasa tidak enak. Kasihan Pak Finniston – ia hidup dalam lingkungan masa silam. Pikirannya penuh dengan kenang-kenangan jaman dulu. Sibuk dengan suatu cerita yang tidak diketahui benar-tidaknya. Anne merasa kasihan pada orang tua itu. Ingin rasanya mendatangi tempat di mana puri kuno itu dulu tegak dengan perkasa. Pasti tempat itu sekarang sudah dipenuhi rumput dan semak! Tak ada lagi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pada jaman dulu di situ menjulang sebuah puri megah, dengan menara kokoh dan bendera-bendera berkibar sepanjang tepi tembok pertahanan! Anne seakan-akan mendengar sorak sorai orang-orang berperang, teriring gemerincing bunyi pedang beradu pedang. Ia bergidik, lalu meluruskan sikap berdiri.

“Huh – aku ini sama parahnya seperti dia,” pikirnya. “Macam-macam saja yang kubayangkan! Tapi kisah tadi memang mencekam. Dick dan Julian pasti senang mendengarnya. Aku ingin tahu apakah orang-orang Amerika tadi juga sudah mendengar kisah itu. “ Hal itu langsung ditanyakannya pada Pak Finniston.

“Apakah Pak Henning – orang Amerika tadi – tahu cerita ini?” tanyanya. Pak Finniston langsung meluruskan sikap tubuh.

“Tidak semuanya – hanya desas-desus yang tersiar di desa saja,” jawabnya. “Tapi begitupun, ia sudah kemari untuk merongrong aku. Ia ingin menggali di tempat itu. Aku tahu orang seperti dia! Pasti ia tidak segan-segan membeli Fenniston Farm, hanya supaya ia bisa memiliki tanah di mana puri itu dulu berada. Jika ia sampai tahu pasti bahwa di situ ada sesuatu yang berharga, jauh di bawah tanah! Kalian kan nanti tidak menceritakan kata-kataku tadi padanya? Aku sudah terlalu banyak bicara. Aku selalu begini, kalau sudah gelisah. Ah – bayangkan, nenek-moyangku dulu penghuni Puri Finniston, tapi lihatlah aku sekarang – seorang tua dalam toko kecil yang menjual barang-barang antik tanpa pembeli!”

“Aku sebetulnya tadi bermaksud hendak membeli hiasan kuda itu,” kata Anne, “tapi lain kali sajalah! Anda sekarang sedang bingung. Lebih baik istirahat saja sebenatr.”

Setelah itu ia keluar, bersama George. Mereka berjatan paian, hampir berjingkat-jingkat.

“Huhh!” desah George, ketika sudah di luar. “Aku ingin cepat-cepat pulang sekarang, karena ingin bercerita pada Dick dan Julian! Bukan main cerita tadi – kedengarannya meyakinkan sekali, ya Anne? Bagaimana jika kita mengadakan penyelidikan, mencari tempat bekas puri kuno itu. Jika sudah ketemu, kita mengadakan pemeriksaan di situ. Siapa tahu, apa saja yang akan kita temukan. Yuk – kita lekas-lekas kembali ke pertanian!”

0 comments:

Post a Comment

 

ჱ♥ღღ♥ჱLoves, Hugs and Kisses!ჱ♥ღღ♥ჱ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos