Friday, November 26, 2010

Chap.4 _ Junior!

Well, who posted thiz? duriangirl9619 at 7:22 AM
Seorang laki-laki bertubuh besar masuk ke dapur. Tampangnya mirip sekali dengan kedua Harry kembar. Jalannya agak membungkuk. Kelihatannya dia capek sekali. Ketika masuk, ia cuma mengangguk kepala, tanpa tersenyum sama sekali.

“Trevor, ini dia tamu-tamu kita yang kuceritakan padamu waktu itu,” kata Bu Philpot. “Yang ini, namanya Julian, dan dia bernama …”

“Ada tamu lagi?” kata Pak Trevor sambil mengeluh. “Aduh, penuh rumah ini dengan anak-anak! Mana anak Amerika itu? Dia perlu kumarahi sebentar. Tadi pagi ia mencoba menjalankan sendiri traktor kita, lalu …”

“Sudahlah, Trevor – nanti saja soal itu kauurus. Sekarang cuci tangan dulu, lalu makan bersama kami,” kata Bu Philpot. “Sudah kubuatkan kue-kue kesukaanmu.”

“Aku tidak sempat makan sekarang,” kata suaminya. “Belum selesai pekerjaanku! Tolong tuangkan secangkir teh, nanti kubawa ke tempat pengolahan susu dan kuminum di sana. Aku harus mengawasi pemerahan sapi-sapi. Bob hari ini tidak masuk!”

“Kami membantu, Yah!” kata kedua Harry serempak, seperti biasa. Dan serempak pula keduanya berdiri.

“Jangan,” kata ibu mereka. “Kalian sudah sibuk terus, sejak pukul tujuh pagi. Sekarang duduklah, dan habiskan makan dulu dengan tenang.”

“Tenaga kalian sangat berguna bagiku,” kata Pak Trevor sambil berjalan menuju ke pintu, “tapi kurasa ibu kalian saat ini lebih memerlukan bantuan, karena dia sangat repot!”

“Bu Philpot – biar saja mereka membantu Pak Trevor,” kata Julian menyela. “Kami bisa membantu di sini. Kami biasa membantu di rumah.”

“Dan kami senang melakukannya,” kata Anne menambahkan. “Biarlah kami membantu, Bu – supaya kami merasa kerasan di sini! Bagaimana jika kami yang membenahi meja makan serta mencuci piring, sementara kedua anak Ibu membantu di tempat pengolahan susu?”

“Biar mereka membantu!” Tiba-tiba Kakek berteriak dari tempatnya di dekat jendela. Timmy dan Snippet terlompat karena kaget. “Kayak apa anak-anak jaman sekarang, selalu harus diladeni?! Hahh!”

“Sudahlah, Kek,” kata Bu Philpot. “Kakek jangan khawatir. Kami bisa menanggulanginya.”

Kakek mendengus dengan nyaring. Dipukulkan tinjunya ke lengan kursinya.

“Sudah selalu kukatakan …” Tapi Kakek tidak jadi berbicara, karena pada saat itu terdengar langkah orang datang dari serambi menuju ke dapur. Seorang daripadanya berbicara dengan logat Amerika. Suaranya lantang.

“Yah – aku ikut ya! Tempat ini tidak enak, tidak ada apa-apanya! Aku ikut ke London, ya. Yah – ya?”

“Itu tamu-tamu Amerika kalian?” tanya Dick. Ia berpaling, memandang kedua Harry. Tampang kedua anak itu berubah, nampak masam sekali. Keduanya mengangguk serempak. Saat berikutnya seorang laki-laki bertubuh gempai masuk ke dapur. Pakaiannya necis – gaya orang kota. Bersama dia masuk pula seorang anak laki-laki gendut bertampang pucat. Umurnya sekitar sebelas tahun. Ayah anak itu berdiri di ambang pintu. Ia memandang berkeliling, sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya.

“Hiya, folke!” sapanya dengan gaya Amerika. “Kami baru saja kembali dari desa. Kami membeli beberapa suvenir di sana! Wah, harganya murah sekali! Kami agak terlambat, ya? Nah – siapa anak-anak ini?”

Dipandangnya Julian dan saudara-saudaranya sambil tertawa lebar. Julian berdiri, lalu menjawab dengan sopan.

“Kami berempat ini bersaudara,” katanya. “Kami akan menjadi tamu di sini selama dua minggu.”

“Tinggal di sini? Mau tidur di mana?”tanya anak yang gendut, sambil menarik sebuah kursi ke meja. “Tempat ini payah, ya Yah – tidak ada bak mandi, tidak ada….”

“Tutup mulutmu!” hardik kedua Harry serempak. Mereka memandang anak yang baru masuk dengan mata melotot. Anne tercengang melihat sikap mereka yang kasar itu.

“Alaa, aku kan boleh saja mengatakan pendapatku?” kata anak yang gendut. ”Ini kan negara bebas! Wah, kalian perlu melihat Amerika sekali-sekali. Itu baru negara hebat! Bu Philpot, aku minta kue sepotong, kelihatannya enak!”

“Tidak bisa minta dengan sopan ya!” Terdengar suara membentak dari dekat jendela. Siapa lagi yang berbicara, kalau bukan Kakek! Tapi si gendut tidak memperdulikannya sama sekali. Ia tetap menyodorkan piringnya, sementara Bu Philpot mengiriskan sepotong kue yang besar untuk dia.

“Aku juga meminta sepotong seperti Junior, Bu Philpot,” kata ayah anak itu sambil duduk menghadapi meja makan. Orang itu juga menyodorkan piringnya pada Bu Philpot. “Wah, Anda perlu melihat barang-barang yang kami beli tadi. Asyik juga kita hari ini – ya, Junior?”

“Betul, Yah,” kata anak yang gendut. Rupanya ia dijuluki Junior oleh ayahnya sendiri. “He, bisakah aku minta minuman dingin? Siapa mau minum teh panas sekarang. Malah berkeringat lagi nanti!”

“Sebentar – nanti kuambilkan limun dengan es,” kata Bu Philpot, sambil bangkit dari kursinya.

“Biar dia mengambilnya sendiri! Anak rewel!” Kakek mulai marah-marah lagi. Tapi sementara itu kedua Harry sudah mendahului Ibu mereka, pergi mengambil limun dengan es untuk Junior. George kaget sekali melihat air muka mereka, ketika kedua anak itu lewat di dekatnya. Astaga – nampak jelas bahwa mereka sangat membanol anak Amerika itu!

“Kakek itu tentunya sangat merepotkan Anda ya,” kata laki-laki Amerika dengan suara pelan pada Bu Philpot. “Selalu mencampuri urusan orang lain! Lagipula, sikapnya kasar.”

“Jangan bisik-bisik,” teriak Kakek. “Aku toh bisa mendengar!”

“Sudahlah, Kak – jangan marah-marah terus,” kata Bu Philpot. “Tidur saja sebentar di situ.”

“Tidak! Aku mau keluar lagi,” kata Kakek. Ia berdiri dari kursinya. “Di sini ada orang-orang yang membuat aku muak!”

Laki-laki itu melangkah ke luar dengan bertelekan pada tongkatnya.

“Tampangnya kayak orang jaman dulu,” kata Anne pada Dick. Timmy bangun, hendak mengikuti Kakek ke luar, disusul oleh Snippet.

“Wah! Besar sekali anjing itu!” kata Junior, ketika melihat Timmy. “Siapa namanya? Baru sekarang aku melihatnya di sini.” Ia bersiul, memanggil Timmy. “Nih, kuberi roti!”

Tapi Timmy sama sekali tak mengacuhkannya. George menoleh ke arah Junior, lalu menyapanya dengan ketus.

“Itu anjingku, Timmy,” tukasnya. “Cuma aku sendiri yang boleh memberi dia makan!”

“Alaaa!” kata Junior. Diambilnya sepotong kue, lalu dilemparkannya ke lantai, ke dekat kaki Timmy. “Itu, untuk anjingmu!”

Timmy memandang kue itu sebentar. Ia tetap berdiri di tempatnya. Kemudian dipandangnya George.

“Sini, Tim,” panggil anak itu. Dan Timmy langsung menghampiri dia. Kue yang dilemparkan oleh Junior tetap tergeletak di lantai.

“Anjingku takkan mau memakannya,” kata George. “Jadi sekarang pungut lagi, karena mengotori lantai.”

“Kau saja yang memungutnya,” jawab Junior, sambil meraih sepotong roti lagi. “Aduh, aduh, galaknya! Pakai melotot-melotot! Mataku silau jadinya!” Tiba-tiba George tersentak napasnya, karena rusuknya ditumbuk oleh si gendut. Detik berikutnya Timmy sudah ada di sisinya. Ia menggeram-geram, menyebabkan Junior cepat-cepat menjauh.

“Yah – anjing ini galak!” teriaknya. “Aku nyaris saja digigitnya tadi!”

“Bohong!” kata George. “Tapi mungkin dia akan menggigit, jika kau tak mengikuti kataku. Pungut kue itu!”

“Biar saja aku menyapunya nanti,” kata Bu Philpot menengahi. Nampak wanita itu semakin gelisah. “Anda masih mau kue lagi, Pak Henning?”

Suasana di meja makan sama sekali tidak menyenangkan. Anne sudah tidak sabar lagi menunggu selesai. Sedang Junior menjadi lebih tenang sikapnya, karena Timmy mengambil tempat berbaring di tempat di antara kursi yang diduduki oleh George dan kursinya sendiri.

Pak Henning, ayah Junior, tidak henti-hentinya bercerita tentang barang-barang yang diborong olehnya hari itu. Semua merasa bosan mendengarnya. Kemudian kedua Harry masuk lagi ke dapur. Kendi berisi limun mereka letakkan di atas meja. Dengan gelas dua buah, karena siapa tahu Pak Henning juga ingin minum limun. Setelah meletakkan kendi, kedua anak kembar itu pergi lagi.

“Ke mana mereka?” tanya Junior. Ia minum limun dengan gaya seenaknya, “Hmm – sedaap!”

“Kurasa kedua anak itu pergi membantu memerah sapi,” kata Bu Philpot capek sekali. Memang tidak gampang, melayani tamu sebanyak itu sekaligus.

“Aku juga mau membantu memerah,” kata Junior dengan tiba-tiba. Anak itu langsung pergi meninggalkan kursinya.

“Lebih baik jangan, Junior,” kata Bu Philpot. “Waktu itu kau sudah menyebabkan sapi-sapi menjadi gugup.”

“Alaa – itu kan cuma karena aku belum biasa,” kata Junior. Julian memandang Pak Henning. Dikiranya orang itu akan melarang anaknya. Tapi Pak Henning diam saja. Ia menyalakan rokok, lalu melemparkan puntung korek api dengan seenaknya ke lantai.

Tampang George masam. Diperhatikannya Junior berjalan ke pintu. Seenaknya saja anak itu – nekat hendak ikut memerah, walau sudah dilarang oleh Bu Philpot! George mengatakan sesuatu pada Timmy dengan suara pelan. Anjing itu segera lari ke pintu mencegat sehingga Junior tidak bisa lewat.

“Ayo minggir,” kata junior sambil berhenti. Timmy menggeram. “He, suruh dia kembali!” kata Junior lagi sambil berpaling.

Tapi George diam saja. Begitu pula Julian, serta kedua adiknya. Bu Philpot bangun, lalu mulai membenahi meja. George seakan-akan melihat mata wanita itu berkaca-kaca. Tidak mengherankan jika Bu Philpot menangis apabila setiap hari harus menghadapi suasana seperti begitu!

Timmy tetap tidak mau beranjak dari ambang pintu. Sekali-kali ia menggeram dengan galak. Akhirnya Junior mengaku kalah. Sebetulnya ia kepingin sekali menyepak Timmy. Tapi tidak berani. Karenanya ia lantas kembali ke ayahnya.

“Kita kalan-jalan yuk, Yah?” katanya.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, kedua orang Amerika itu meninggalkan dapur lewat pintu yang satu lagi. Sekeliling meja makan terdengar serempak tarikan napas lega.

“Bu, Anda lebih baik beristirahat dulu sebentar,” kata Anne. “Biar kami saja yang mencuci piring.”

“Kalian baik hati,” kata Bu Philpot. “Sedari pagi aku sudah sibuk terus. Jadi enak juga apabila bisa istirahat selama dua puluh menit. Kurasa syarafku tidak kuat kalau terus-terusan menghadapi Junior. Mudah-mudahan saja Timmy tidak akan menggigitnya!”

“Kalau anak itu bertingkah terus, ada kemungkinannya dia akan digigit,” jawab George dengan sikap tak peduli. Dikumpulkannya cangkir dan piring kotor bersama Anne. “Kalian berdua akan berbuat apa sekarang? Mau pergi ke tempat pemerahan?”

“Ya – kami berdua kan sudah sering memerah sapi,” kata Dick. “Pekerjaan yang menyenangkan! Aku senang pada bau sapi. Sampai nanti! Dan kalau si Gendut tadi rewel lagi, panggil saja kami. Kepingin rasanya menjejalkan mukanya ke kue yang dicampakkannya ke lantai itu!”

“Sebentar lagi akan kusapu,” kata Anne. “Nah – sampai nanti, saat makan malam!”

Dick dan Julian melangkah ke luar, sambil bersiut-siut. Bu Philpot sudah masuk ke kamarnya. Hanya Anne, George dan Timmy yang masih tinggal di dapur.

“Aku agak menyesal datang kemari,” kata George, sambil membawa piring-piring kotor ke tempat cuci. “Banyak sekali pekerjaan Bu Philpot sekarang. Tapi – dia juga perlu uang ….”

“Yah – kita kan bisa membantunya,” kata Anne. “Dan kita juga sudah berniat untuk selalu pergi seharian. Jadi tak usah sering-sering bertemu muka dengan Junior.”

0 comments:

Post a Comment

 

ჱ♥ღღ♥ჱLoves, Hugs and Kisses!ჱ♥ღღ♥ჱ Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos