Sehabis mencuci piring, George dan Anne menyusul ke tempat pemerahan. Di situ nampak sapi berjejer-jejer. Pemerahan sudah hampir selesai. Kedua Harry kembar menggiring sapi yang sudah selesai diperah, kembali ke lapangan.
“Nah – bagaimana dengan pekerjaan kalian?” tanya Anne pada kedua abangnya.
“Asyik,” kata Dick. “Hasil perahanku selalu lebih banyak daripada Julian. Soalnya sambil memerah aku nyanyi. Dan rupanya sapi-sapi yang kuperah suka mendengar nyanyianku!”
“Konyol!” kata Anne dengan geli. “Kalian sudah sempat berbicara dengan Pak Trevor tadi?”
“Ya – katanya, besok kita akan diajaknya pesiar mengelilingi pertanian dengan Land-Rover,” kata Dick. “Dan kita juga boleh naik traktor! Itu jika Bill mau mengajak. Kata Pak Trevor, biar bagaimanapun Bill tidak mau mengijinkan Junior ikut naik traktornya. Jadi mungkin akan terjadi pertengkaran, jika anak itu melihat kita diperbolehkan!”
“Aku sudah siap menghadapi pertengkaran – begitu pula Timmy,” kata George geram, “Aku memang sudah kepingin berterus terang pada anak itu!”
“Siapa yang tidak?” kata Julian. “Tapi lebih baik kita menahan diri dulu, sampai tiba saatnya yang tepat! Aku tidak ingin membuat Bu Philpot repot – karena jika kedua tamu Amerika itu sampai pergi, ia akan menderita rugi. Pasti mereka berani membayar mahal!”
“Ya – aku juga mengerti, Ju,” kata George, “Tapi Timmy tidak!. “He – sudah pukul berapa sekarang? Kita jalan-jalan yuk!”
“Janganlah,” kata Julian. “Betisku terasa pegal. Habis, sehari ini kita naik turun bukit terus! Atau begini sajalah. Jalan-jalan sih boleh, tapi jangan jauh-jauh!”
Mereka pun berjalan-jalan dengan santai, melihat-lihat tempat pertanian itu. Bangunan-bangunan yang ada di situ selamanya sudah sangat tua. Bahkan ada yang disana sininya sudah mulai runtuh. Atap bangunan-bangunan itu ditutupi genteng batu, khas daerah Dorset. Bikinannya kasar, berwarna kelabu. Lumut hijau dan merah menyelubunginya.
“Bagus sekali, ya?” kata George. Ia berhenti sebentar, untuk memperhatikan genteng sebuah gudang kecil. “Lihatlah – belum pernah kulihat lumut berwarna merah nyala seperti itu! Sayang, banyak yang sudah dilepaskan, diganti dengan genteng murahan!”
“Mungkin sudah dijual oleh keluarga Philpot,” kata Julian. “Genteng batu tua seperti itu, yang sudah berlapis lumut merah, kalau dijual bisa mahal sekali harganya. Apalagi jika yang membeli orang Amerika! Di Amerika, banyak lumbung yang atapnya dilapisi dengan genteng batu yang didatangkan dari sini, lengkap dengan lumut! Rupanya pemiliknya menginginkan suasana pedesaan Inggris.”
“Kalau aku punya tempat yang sebagus ini, aku takkan mau menjualnya! Biar sepotong genteng pun takkan kujual!” kata George dengan sengit.
“Mungkin kau tidak mau,” kata Dick. “Tapi ada orang yang terpaksa menjual miliknya sebagian, supaya dengan uang hasilnya bisa merawat pertaniannya agar jangan terbengkalai! Bagi mereka, ladang lebih penting daripada genteng tua.”
Kurasa Kakek takkan mau menjual, apabila tidak benar-benar terdesak,” kata Anne. “Aku ingin tahu, apakah tamu Amerika itu juga mencoba membeli genteng-genteng ini. Kurasa pasti dia tertarik!”
Asyik juga mereka melihat-lihat kelompok bangunan-bangunan yang ada di situ. Mereka sampai di sebuah gudang tua, yang pernah berisi barang usang yang sudah tidak dipakai lagi. Julian mengacak-acak di situ dengan penuh minat.
“Lihatlah – besarnya roda gerobak ini,” katanya sambil menatap ke suatu sudut yang gelap. “Hampir setinggi kepalaku. Wah – rupanya dulu orang-orang sini biasa membuat roda gerobak mereka sendiri! Bahkan mungkin bekerjanya dalam gudang ini. Dan dengan perkakas buatan sendiri pula. Coba lihat alat kuno ini! Untuk apa ya, gunanya?”
Anak-anak memperhatikan alat kuno itu. Bentuknya melengkung. Alat itu tidak enteng. Julian membayangkan, pasti tidak mampu mempergunakannya lebih dari sepuluh menit.
“Tapi kalau Kakek, kurasa mampu sehari penuh – tanpa capek,” tambahnya. “Tentu saja sewaktu ia masih muda! Sebagai pemuda, pasti Kakek kuat sekali.”
“Kau masih ingat cerita anak perempuan di toko tempat kita mampir sebelum kemari?” sela Anne. “Katanya, Kakek dulu pernah berkelahi dengan sapi jantan dan menang! Kita mesti minta agar Kakek mau menceritakan pengalamannya itu pada kita. Pasti dia mau!”
“Aku suka padanya – walau kerjanya mengomel dan membentak-bentak terus,” kata Julian. “He – hari sudah senja. Kita tadi lupa menanyakan, kapan kita harus pulang untuk makan malam.”
“Setengah delapan,” kata George. “Aku sudah menanyakannya tadi. Jadi sebaiknya kita kembali sekarang, karena masih harus mandi dan sebagainya! Kecuali itu, aku dan Anne hendak membantu mengatur meja.”
“Baiklah. Kalau begitu kita kembali sekarang,” kata Julian. “Ayo, Tim – jangan suka mengendus-endus sampah!”
Mereka kembali ke rumah. George dan Anne bergegas mandi, karena melihat Bu Philpot sudah sibuk menyiapkan makan malam.
“Sebentar, Bu!” seru Anne. “Nanti kami saja yang mengupas kentang. Wah, pertanian ini bagus sekali! Kami tadi melihat-lihat gudang tua.”
“Ya – tempat itu perli dibersihkan,” kata Bu Philpot. Ia nampak agak segar sekarang, karena sudah beristirahat biarpun Cuma sebentar. “Tapi kakek tidak mau mengijinkan. Katanya, ia sudah berjanji pada kakeknya bahwa tak sepotong pun dari barang-barang yang ada di situ akan dibuang olehnya. Tapi genteng batu yang bagus itu, ada yang sudah kami jual. Tentu saja pada orang Amerika! Orang itu kawan Pak Henning. Wah, Kakek marah sekali ketika mengetahuinya. Ia marah-marah sampai beberapa hari. Kasihan! Siang malam ia menjaga sambil membawa garpu penggaru – kalau-kalau ada orang asing berani menginjak tanahnya. Kami sampai repot sekali, menyabarkan Kakek.”
Makan malam menyenangkan, karena Pak Henning serta anaknya tak muncul. Suasana menjadi meriah. Berkelakar sambil tertawa-tawa. Tapi seperti biasa, kedua Harry kembar tidak banyak bicara. Anne sampai heran melihat mereka. Apa sebabnya kedua anak itu tidak suka beramah tamah? Sekali dua kali ia mencoba tersenyum pada mereka. Tapi setiap kali, kedua anak itu membuang muka.
Snippet berbaring dekat kaki kedua anak itu, sedang Timmy seperti biasa menempati posnya di bawah meja. Kakek tidak hadir. Begitu pula Pak Trevor, suami Bu Philpot.
“Kakek dan suamiku masih bekerja di ladang, mumpung hari masih terang,” kata Bu Philpot menjelaskan. “Saat ini memang bertumpuk-tumpuk pekerjaan yang harus dilakukan.”
Sementara sedang asyik makan, tiba-tiba Anne menguap.
“Aduh, maaf!” katanya, “tapi tak bisa kutahan lagi. Entah kenapa, rasanya aku mengantuk sekali.”
“Sekarang aku ketularan,” kata Dick. Ia cepat-cepat menutupi mulut dengan tangan, menyembunyikan kuap yang menjadi-jadi. “Tapi aku tak heran, apa sebabnya kita sekarang sudah mengantuk. Aku dan Julian subuh tadi sudah berangkat! Dan kalian pun, naik bis selama itu – pasti sekarang capek.”
“Kalau begitu pergi saja tidur sekarang,” kata Bu Philpot. “Besok tentunya kalian ingin bangun pagi-pagi sekali. Kalau kedua Harry ini, mereka selalu bangun pukul enam pagi. Mereka tidak senang bermalas-malasan di tempat tidur.”
“Nah – kalau Junior, pukul berapa dia bangun?” tanya George sambil nyengir. “Juga pukul enam?”
“Ah, biasanya pukul sembilan lewat,” jawab Bu Philpot. “Sedang Pak Henning, dia baru turun kalau sudah pukul sebelas. Keduanya biasa sarapan di tempat tidur.”
“Apa? Junior juga? Jadi Anda mengantarkan sarapan ke atas, untuk anak itu?” kata Dick tercengang. “Kenapa tidak Anda seret saja dia dari tempat tidur?”
“Yah – mereka kan tamu,” kata Bu Philpot. “Dan membayar uang penginapan yang lumayan banyaknya.”
“Aku saja yang mengantarkan sarapan untuk Junior,” kata George dengan tiba-tiba. Ketiga saudara sepupunya memandang dengan heran. “Ya, aku dengan Timmy. Kami ingin melayani anak itu. Ya kan, Tim?
Dari bawah meja terdengar bunyi yang aneh.
“Kedengarannya kayak Timmy tertawa,” kata Dick. “Dan aku juga tidak heran, apabila dia betul-betul tertawa. Hah – aku kepingin melihat tampang Junior, pada saat George masuk bersama Timmy – mengantarkan sarapan untuk dia.”
“Mau taruhan bahwa aku benar-benar akan melakukannya?” tanya George, yang merasa ditantang.
“Boleh saja,” balas Dick. “Aku berani mempertaruhkan pisau lipatku yang baru, bahwa kau takkan mau!”
“Top!” kata George. Bu Philpot bingung melihat kelakuan kedua anak itu.
“Wah, jangan,” katanya. “Aku tidak setuju, jika ada tamu melayani sesama tamu. Walau harus kuakui, kakiku capek turun naik tangga sambil membawa baki!”
“Akan kuantarkan sarapan untuk Junior dan Pak Henning, kalau Anda setuju,” kata George, yang rupanya sedang mengalami hari baik.
“Untuk Pak Henning tidak usah,” kata Julian. Ia melirik George, “Jangan berlebih-lebihan! Baki Junior saja sudah cukup!”
“Ya deh, ya deh,” kata George agak merajuk. “Apakah mereka berdua tidak makan?”
“Malam ini tidak,” kata Bu Philpot dengan nada lega. “Kalau tidak salah, mereka makan malam di salah satu hotel, di Dorchester. Mungkin mereka merasa bosan, terus-terusan makan hidangan desa yang sederhana di sini. Tapi mudah-mudahan saja mereka tidak terlalu larut pulang nanti. Kakek kebiasaannya cepat mengunci pintu.”
Anak-anak merasa lega ketika selesai makan dan sudah berbenah serta mencuci piring, karena rasa mengantuk sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka betul-betul sudah capek, karena seharian sibuk terus.
“Selamat tidur, Bu,” kata mereka. “Kami akan pergi tidur sekarang.”
“Kalian ikut?” tanya Julian pada kedua Harry. Kedua anak itu mengangguk serempak. Mereka kelihatannya juga sudah capek. Dalam hati Julian bertanya-tanya, apa sebabnya Pak Trevor dan Kakek belum datang juga. Mungkin masih sibuk bekerja di luar, pikirnya. Julian menguap. Yah – pokoknya ia hendak tidur sekarang. Menurut perasaannya saat itu, biar disuruh menggeletak di tanah sekalipun, ia pasti akan tidur nyenyak malam itu.
Anne dan George naik ke kamar tidur mereka di atas. Sedang Julian dan Dick berjalan dengan kedua Harry ke lumbung. Sesampai di atas, George mengintip sebentar ke kamar Junior yang terbuka pintunya. Kamar itu semakin acak-acakan kelihatannya. Di lantai berserakan kulit kacang. Rupanya Junior makan kacang dalam kamar, tapi malas membersihkan.
Tak lama kemudian semua sudah berbaring di tempat tidur masing-masing. Anne dan George di sebuah tempat tidur luas, yang kasurnya keras. Dan Julian serta Dick di tempat tidur lipat masing-masing, seperti kedua Harry.
Dua jam kemudian Anne dan George terbangun, karena dikejutkan bunyi ribut-ribut. Dengan ketakutan mereka duduk di tempat tidur. Timmy menggonggong, karena merasa terganggu. George menyelinap ke puncak tangga. Didengarnya suara Kakek yang lantang di bawah. George kembali ke kamar.
“Ah, cuma Pak Henning dan Junior pulang,” katanya pada Anne. “Rupanya Kakek sudah mengunci pintu-pintu, sehingga keduanya tidak bisa masuk. Lalu mereka menggedor-gedor pintu. Huh – berisiknya! Nah – itu Junior datang!”
Dan benarlah – Junior naik ke tingkat atas, berjalan dengan langkah berisik sambil bernyanyi keras-keras.
“Anak konyol!” kata George jengkel. “Tunggu saja sampai besok, apabila kuantarkan sarapan untuknya!”
Friday, November 26, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment