Keempat anak itu berjalan menyusur jalan desa yang panas dan berdebu. Dick dan Julian menuntun sepeda masing-masing, yang ditambah dengan beban dua buah koper kepunyaan Anne dan George. Sesampai di ujung desa, nampak jalan yang menuju ke kanan. Persis seperti yang dikatakan anak perempuan di toko tadi.
“Tunggu dulu,” kata Anne. Ia berhenti di depan sebuah toko, yang terdapat di ujung jalan desa itu. “Ada juga toko barang antik di sini! Lihatlah – itu ada hiasan kuda – kelihatannya sudah kuno. Aku ingin membeli barang satu atau dua buah! Dan gambar-gambar itu – aduh, bagusnya!”
“Jangan sekarang dong, Anne!” keluh Julian. “Kegemaranmu pada toko-toko barang antik, sudah keterlaluan menurut pendapatku! Hiasan kuda lagi – kau kan sudah punya setumpuk? Jika kausangka kita sekarang akan masuk ke toko gelap dan pengap itu, kau keliru …”
“Bukan, aku bukan mau masuk sekarang,” kata Anne cepat-cepat, “lain kali! Aku akan datang seorang diri, supaya bisa melihat-lihat di sini dengan puas.” Dibacanya nama yang tertulis pada bagian depan toko. “William Finniston. Aneh, nama pemilik toko ini sama dengan nama desa. Ah, mungkin…”
“Ayo,” kata George tidak sabaran, sementara Timmy menarik-narik rok Anne. Setelah melirik sekali lagi dengan perasaan kepingin ke jendela toko antik itu, Anne lantas bergegas menyusul saudara-saudaranya. Tapi dalam hati ia sudah memutuskan akan datang lagi seorang diri ke tempat itu.
Mereka meneruskan perjalanan. Menyusur jalan mendaki, berkelok-kelok. Setelah beberapa saat berjalan, nampak tempat pertanian yang dituju di kejauhan. Bangunan utamanya berupa sebuah rumah yang besar. Bertingkat tiga, dengan dinding yang dilabur putih. Jendela-jendelanya agak kecil, karena memang begitulah gaya bangunan jaman dulu. Rumah itu sudah kuno. Di depannya ada beranda beratap dater. Kiri kanannya penuh dirambati tanaman mawar berwarna merah dan putih. Pintu depan rumah itu terbuka.
Anak-anak berdiri di beranda yang berlantai batu, sambil memandang ke serambi dalam yang agak gelap. Nampak di situ sebuah peti tua yang terbuat dari kayu, serta sebuah kursi berukir. Di lantai batu terhampar permadani yang sudah agak usang. Sebuah jam besar berdetak pelan tapi nyaring.
Saat itu terdengar gonggongan anjing, yang langsung dibalas oleh Timmy.
“Ssst, diam,” kata George. Ia khawatir, kalau-kalau nanti datang sekawanan anjing pertanian itu menyerbu mereka. Ia memandang ke sana-sini, mencari bel atau alat pengetuk pintu. Tapi sama sekali tidak ada. Kemudian Dick melihat semacam gagang terbuat dari besi berukir, tergantung di sisi beranda itu. Mungkinkah itu belnya?
Ditariknya gagang itu. Seketika itu juga di dalam rumah menggema deringan bel. Bunyinya nyaring sekali, sehingga anak-anak kaget mendengarnya. Mereka tetap terpaku di tempat semula, menunggu ada orang muncul dari dalam. Tak lama kemudian terdengar langkah mendekat dengan serempak. Dua orang anak muncul di ambang pintu.
He – kedua anak itu serupa sekali, seperti dua tetes air!
“Baru sekali ini aku melihat kembar dua yang begitu mirip,” pikir Anne takjub. Sementara itu Julian sudah menyapa, sambil tersenyum ramah.
“Selamat siang,” katanya. “Kamilah keempat bersaudara Kirrin – tentunya kalian sudah tahu bahwa kami akan datang hari ini.”
Kedua anak kembar itu memandang saja. Sedikit pun mereka tidak membalas senyuman Julian. Kemudian keduanya mengangguk dengan serempak.
“Lewat sini,” kata mereka bersama-sama, lalu mendahului masuk ke dalam rumah. Keempat anak yang berdiri di luar saling berpandang-pandangan dengan heran.
“Aduh, bukan main aksinya,” bisik Dick, sambil menirukan air muka kedua anak yang sudah masuk lagi ke rumah. Anne tertawa mengikik. Kemudian mereka masuk, mengikuti kedua anak kembar yang memakai pakaian yang juga persis sama. Keduanya memakai kemeja dan celana jeans berwarna biru tua. Iring-iringan keenam anak serta seekor anjing itu menyusur gang yang panjang, lalu masuk ke dalam sebuah dapur yang lapang. Ruangan itu kelihatannya juga dipergunakan sebagai kamar duduk.
“Anak-anak Kirrin, Bu!” kata pasangan kembar serempak, lalu masuk bersama-sama ke sebuah ruangan lain. Julian dan saudara-saudaranya kini berhadapan dengan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum, sementara tangannya nampak putih bergelimang adonan roti.
“Wah – cepat sekali kalian tiba! Maaf, aku tidak bisa bersalaman – karena sedang sibuk membuat adonan. Bagaimana perjalanan kalian kemari? Menyenangkan?”
Anak-anak langsung menyukai wanita yang ramah itu. Julian meletakkan koper yang dijinjingnya ke lantai, lalu memandang berkeliling.
“Bagus sekali dapur ini!” katanya memuji. “Kuno, tapi bagus! Silakan melanjutkan kesibukan Anda, Bu Philpot – kami bisa mengurus diri sendiri. Katakan saja ke mana kami harus pergi. Dan – terima kasih atas kesediaan Anda menerima kami.”
“Ah, justru aku yang harus berterima kasih,” balas Bu Philpot. “Tentunya bibi kalian sudah bercerita bahwa usahaku saat ini sedang mengalami kemunduran. Untung dia mau membantuku, mengirim kalian untuk berlibur di sini selama dua minggu. Aku sibuk sekarang – karena kecuali kalian, masih ada lagi tamu lain yang juga menginap di sini. Seorang Amerika bersama anak laki-lakinya.”
“Anda tidak perlu repot-repot mengurus kami, Bu,” kata Dick. “Kalau perlu, kami mau saja tidur di dalam lumbung. Kami sudah biasa hidup begitu!”
“Ya – mungkin itu ada gunanya,” kata Bu Philpot, sambil meneruskan kesibukannya mengaduk adonan. “Kalau untuk kedua anak perempuan ini ada kamar yang kusediakan. Tapi kalian berdua yang laki-laki, terpaksa sekamar dengan anak Amerika itu! Dan – yah, ada kemungkinan kalian nanti tidak suka padanya.”
“Ah, masak kami sampai tidak suka,” kata Julian. “Tapi di pihak lain, kami berdua memang lebih senang apabila bisa sendiri, Bu. Bagaimana jika kami tidur saja di lumbung – dengan tempat tidur lipat, misalnya.”
Anne memandang wajah Bu Philpot yang ramah itu. Wanita itu nampak capek. Anne merasa kasihan padanya.
“Bu, jika Anda memerlukan bantuan apa saja, bilang saja padaku dan Georgina,” katanya. “Membereskan tempat tidur, membersihkan kamar dan pekerjaan lain semacam itu. Kami biasa membantu di rumah, jadi ….”
“Wah, kalian ini tamu yang menyenangkan,” kata Bu Philpot. Dipandangnya anak-anak dengan ramah. “Tapi kalian tidak perlu repot-repot membantu. Kedua anak kembarku sudah banyak membantu – bahkan terlalu banyak, menurut pendapatku. Soalnya, mereka juga sudah ikut bekerja menolong ayah mereka di pertanian. Sekarang kalian naik saja dulu ke tingkat atas. Di sana ada dua kamar tidur. Yang sebelah kiri untuk kalian berdua, yang perempuan. Sedang yang di kanan, di situlah anak Amerika itu tidur. Dan kalian berdua pergi saja ke lumbung. Periksa dulu, apakah kalian mau tidur di situ dengan tempat tidur lipat. Biar anak-anakku mengantar kalian ke sana.”
Saat itu kedua anak yang dibicarakan datang lagi. Mereka tegak di ambang pintu, tanpa mengatakan apa-apa. Mereka memang persis sama, seperti pinang dibelah dua.
“Siapa namamu?” tanya George pada salah seorang dari mereka.
“Harry!” jawab anak itu. Kemudian George bertanya pada yang satu lagi.
“Dan kau, siapa namamu?”
“Harry!”
“Eh – masak kedua-duanya bernama sama,” seru George tercengang.
“Ya – soalnya begini,” kata ibu mereka menjelaskan, “yang laki-laki sewaktu lahir kami beri nama Henry – dengan panggilan Harry, tentunya. Sedang yang perempuan mendapat nama Harriet. Tapi ia sendiri menyebut dirinya Harry, supaya singkat. Jadi sekarang keduanya terkenal dengan julukan Harry kembar.”
“Wah, kusangka tadi kedua-duanya laki-laki,” kata Dick tercengang. “Aku tidak bisa membeda-bedakan keduanya.”
“Mereka merasa harus mirip satu dengan yang lain,” kata Bu Philpot, dan karena Harry tak mungkin berambut panjang kayak anak perempuan, maka Harriet yang kemudian memotong pendek rambutnya, supaya mirip dengan Harry! Aku sendiri sering keliru sebut, kalau menghadapi salah seorang dari mereka.”
“Ya, memang aneh – kadang-kadang memang ada anak perempuan yang ingin menjadi laki-laki,” kata Dick sambil nyengir. Diliriknya George yang menatapnya dengan mata melotot.
“Tolong antarkan anak-anak ini ke atas,” kata Bu Philpot pada kedua anak kembarnya, ”dan sesudah itu bawa yang laki-laki ke lumbung yang besar. Kalau keduanya mau tidur di situ, mereka bisa memakai tempat tidur lipat kita.”
“Kami yang tidur di sana,” kata kedua Harry kembar. Tampang mereka cemberut, persis seperti George kalau sedang marah.
“Kan sudah kukatakan tidak boleh,” kata ibu mereka. “Kalian harus memindahkan kasur kalian ke bilik kecil yang ada di sebelah tempat pengolahan susu.”
“Di situ terlalu pengap,” kata si kembar serempak.
“Bu – kami tidak ingin terlalu merepotkan,” sela Julian, karena merasa bahwa kedua Harry itu tidak senang. “Biar kami saja yang tidur di bilik itu.”
“Jangan,” kata Bu Philpot, sambil melirik kedua anaknya menyuruh mereka diam. “Lumbung itu lapang, cukup tempat untuk kalian berempat. Harry! Harriet! Sekarang antarkan keempat tamu ini ke kamar tidur atas dengan barang-barang mereka. Setelah itu ajak mereka ke lumbung.”
Harry dan Harry alias Harriet mengangkat kedua koper milik Anne dan George dengan tampang masam. Tapi dengan cepat Dick mengambilnya kembali.
“Kami sendiri yang membawanya ke atas,” katanya dengan ketus. “Kami tidak ingin tambah merepotkan kalian berdua.”
Koper yang satu diserahkan pada Julian. Kedua Harry kelihatan tercengang sesaat, lalu naik tangga menuju ke tingkat atas. Mereka diikuti oleh Dick dan Julian, masing-masing menjinjing sebuah koper. Kemudian menyusul George dengan Timmy. George lebih banyak merasa geli daripada jengkel menghadapi kejadian itu. Sebelum mengikuti saudara-saudaranya, Anne masih sempat membungkuk untuk memungut sendok yang dijatuhkan oleh Bu Philpot.
“Terima kasih, Nak,” kata wanita itu. Kalian jangan terlalu kaget, menghadapi kedua anakku itu. Tingkah laku mereka kadang-kadang aneh – tapi sebenarnya keduanya baik hati! Soalnya mereka tidak begitu senang melihat di rumah mereka tinggal orang asing. Cuma karena itu saja mereka selalu cemberut. Jangan sakit hati, ya? Aku ingin kalian merasa senang di sini.”
Anne memandang wajah wanita yang kelihatannya capek itu, lalu tersenyum.
“Kami berjanji takkan terlalu merepotkan pikiran mengenal mereka, apabila Anda juga berjanji takkan repot-repot tentang kami!” katanya. “Kami sudah biasa mengurus diri sendiri. Betul, Bu! Dan harap katakan saja, apabila ada sesuatu yang perlu kami kerjakan.”
Setelah itu Anne menyusul saudara-saudaranya ke atas. Mereka sudah berada dalam kamar yang diperuntukkan baginya bersama George. Kamar itu cukup lapang. Dindingnya dilabur dengan kapur putih. Jendelanya tidak besar, sedang lantainya terbuat dari papan. Julian memandang ke lantai.
“He! Lantai ini terbuat dari papan kayu oak,” katanya kagum. “Kelihatannya sudah tua sekali, sehingga warnanya memutih! Wah – rupanya rumah ini sudah sangat kuno. Dan lihatlah – sekarang Julian mendongak, “balok-balok di langit-langit itu, yang melintang di atas. Ya – rumah ini benar-benar bagus!” Kalimat terakhir ditujukannya pada Harry kembar.
Kedua anak itu diam saja. Tapi kepala mereka masih dianggukkan serempak sebagai jawaban. Sikap mereka tetap kaku.
“Kalian berdua kelihatannya kayak digerakkan dengan mesin!” kata Dick. “Kata-kata yang kalian ucapkan serempak selalu sama, kalian berjalan sejajar, dan mengangguk pun serempak! Tapi – kalian tidak tahu bagaimana caranya tersenyum, ya?”
Kedua anak kembar itu menatapnya dengan sengit. Anne menyikut Dick.
“Sudahlah, Dick – jangan kauganggu terus mereka,” katanya. “Mungkin mereka hendak mengantarkan kalian ke lumbung sekarang. Sementara itu aku dan George mengeluarkan barang-barang kalian yang dititipkan dalam koper kami. Nanti kami antarkan ke bawah.”
“Baiklah,” kata Dick, lalu berjalan ke luar bersama Julian. Di seberang gang terdapat kamar tidur yang ditempati oleh anak Amerika. Pintu kamar itu terbuka, sehingga bisa dilihat isinya. Keadaan dalam kamar tidur itu acak-acakan, sehingga Dick berseru,
“Astaga – bagaimana ada orang bisa membuat kamar begitu berantakan!”
Setelah itu ia menuruni tangga, seiring dengan Julian. Ketika Dick menoleh sebentar untuk melihat apakah Harry kembar ikut turun, dilihatnya kedua anak itu berdiri di ujung atas tangga. Keduanya mengacungkan kepalan tinju ke arah kamar tidur yang dipakai anak Amerika. Tampang mereka marah sekali!
“Rupanya Harry kembar sangat membenci anak Amerika itu,” pikir Dick. “Mudah-mudahan saja mereka tidak membenci kami pula.”
“Yuk – kita ke lumbung,” katanya keras-keras. “Jangan terlalu cepat, Ju. Tunggu kedua anak itu – kasihan, mereka sudah begitu kepingin mengantar kita!”
Friday, November 26, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment